Naskah Kuno Batara Kala
Nama Pemegang naskah : Adang. Tempat naskah : Kp. Cieunteung Desa Mekarluyu Kec. Sukawening. Asal naskah : warisan. Ukuran naskah : 17 x 22 cm. Ruang tulisan : 13 x 16 cm. Keadaan naskah : tidak utuh. Tebal naskah : 32 Halaman. Jumlah baris per halaman : 14 baris Jumlah baris halaman awal dan akhir : -. Huruf : Arab/Pegon. Ukuran huruf : sedang. Warna tinta : hitam. Bekas pena : tumpul. Pemakaian tanda baca : ada. Kejelasan tulisan : jelas. Bahan naskah : kertas tidak bergaris. Cap kertas : tidak ada. Warna kertas : kecoklat-coklatan. Keadaan kertas : tipis agak halus . Cara penulisan : timbal balik. Bentuk karangan : puisi.
Ringkasan Isi :
Keadaan di Sorgaloka kacau balau akibat ulah seorang putri di bumi bernama Dewi Tanara melakukan Tapabrata di Gunung Marabu. Dewi Tanara ingin bersuamikan seseorang yang suka disembah tetapi tidak diberi kewajiban untuk menyembah. Turunlah Batara Guru dari Sorgaloka karena merasa bahwa dirinyalah yang dimaksudkan oleh Dewi Tanara.
Batara Guru berubah wujud menjadi seorang raksasa ketika mengejar-ngejar Dewi Tanara karena melihat paha Dewi Tanara raksasa terjatuh dan meneteskan sperma sehingga jatuh ke tanah. Raksasa sadar bahwa ia adalah Batara Guru dan berjanji tidak akan mengejar-ngejar lagi asal wujudnya dikembalikan ke wujud semula. Saat itu juga Batara Guru kembali dari wujud raksasa ke wujud semula. Kemudian Batara Guru pulang ke Sorgaloka sedangkan Dewi Tanara kembali ke negrinya. Keadaan di Sorgaloka kembali tenteram, Batara Narada disuruh Batara Guru untuk mengamankan spermanya yang jatuh ke tanah, akan tetapi setelah sperma itu dibuang ke laut malah menjelma menjadi seorang raksasa yang bernama Batara Kala.
Batara Kala diberitahu oleh Semar bahwa Batara Guru adalah ayahnya. Pergilah Batara Kala ke negeri Sorgaloka menjumpai Batara Guru dan minta makanan dari jenis daging manusia. Batara Guru mengabulkan permintaannya dengan syarat hanya beberapa dari jenis daging manusia diantaranya ialah orang yang berstatus anak tunggal, orang yang berstatus kadana kadini ( hanya bersaudara kakak beradik laki-laki dan perempuan atau perempuan dan laki-laki ), orang yang berstatus nanggung bugang (kakak dan adik meninggal dunia), orang yang berstatus anak mungku (hanya tiga bersaudara dua perempuan satu laki-laki atau sebaliknya), orang-oarang yang dilahirkan pada waktu malam hari, orang-orang yang bepergian pada waktu maghrib, akan tetapi batara Guru memberikan larangan bahwa orang yang sedang berada di arena pagelaran wayang, tidak boleh dimakan. Orang-orang di bumi kalang kabut, takut kepada Batara Kala, Batara Guru bingung memikirkan nasib manusia di bumi yang ketakutan kepada Batara Kala dan mungkin akan habis dimakan olehnya. Maka turunlah Batara Guru dengan rombongannya ke bumi menyamar menjadi kelompok penabuh wayang. Batara Guru sendiri menjadi dalangnya, dengan sebutan dayang Longlongan.
Naskah Kuno Layang Buana Wisesa
Nama Pemegang naskah : Adang. Tempat naskah : Kp. Cieunteung Desa Mekarluyu Kec. Sukawening. Asal naskah : warisan. Ukuran naskah : 16 x 21 cm. Ruang tulisan : 15 x 17 cm. Keadaan naskah : baik. Tebal naskah : 79 Halaman. Jumlah baris per halaman : 15 baris. Jumlah baris halaman awal dan akhir : 14 dan 17 baris. Huruf : Arab/Pegon. Ukuran huruf : sedang. Warna tinta : hitam. Bekas pena : tumpul. Pemakaian tanda baca : ada. Kejelasan tulisan : jelas. Bahan naskah : kertas bergaris. Cap kertas : tidak ada. Warna kertas : putih kecoklat-coklatan. Keadaan kertas : tipis halus. Cara penulisan : timbal balik. Bentuk karangan : puisi.
Ringkasan isi :
Konon ada dua orang kakak beradik bernama Buana dan Wisesa. Selam hidupnya antara keduanya selalu saling bertanya jawab masalah hidup dan mereka selalu berfikir mengenai nilai-nilai kehidupan. Buana bertempat tinggal di sebuah Kampung besar yang bernama Jembarngalah, sedangkan Wisesa bertempat tinggal di sebuah kampung kecil bernama Jamanngalah.
Pertanyaan pertama diajukan oleh Wisesa yang kemudian dijawab oleh Buana. Adapun pertanyaan itu berbunyi. Ketika hidup di dunia bagaimana asal muasalnya dan bagaimana kita lahir dari orang tua itu.
Kata Buana, kita berada di tujuh alam, dan melalui tujuh alam itu kita lahir ke dunia. Ketujuh alam itu adalah alam akhadiat, alam wahdat, alam wahidiat, alam arwah, alam ajam, alam missal, dan alam insane kamil.
Selanjutnya Buana mengajukan pertanyaan kepada Wisesa yang isinya, Apa yang akan ditempuh oleh orang yang akan meninggal dunia Wisesa menerangkan bahwa jalan yang akan ditempuh oleh orang yang akan mati melalui tujuh alam yang berlambangkan dalam tubuh kita sendiri yaitu lidah, telinga, hidung, mata, kulit, otak dan kemaluan. Kepada tujuh anggota badan itulah kita mengabdi selama hidup.
Karena kesenangan di akherat nanti sangat tergantung pada penggunaan ketujuh anggota badan itu, yaitu apakah diabdikan kepada kehidupan duniawi saja ataupun bagi kepentingan hidup di akherat nanti, maka Wisesa memberi nasehat agar kita jangan terlalu mementingkan kehidupan di dunia saja.
Pertanyaan selanjutnya yang diajukan oleh Wisesa setelah menajwab pertanyaan Buana, Apa yang dapat dibawa dari kehidupan di dunia untuk kepentingan hidup di akherat nanti Buana menerangkan bahwa ada lima hal pekerjaan di dunia, yaitu yang dilakukan oleh mata, hidung, telinga, mulut dan otak. Kelima pekerjaan itu seperti dilambangkan oleh Rukun Islam. Keterangan mengenai Rukun Islam oleh Buana dijelaskan dengan panjang lebar.
Nasehat-nasehat dari dua orang kakak beradik itu sangat penting buat kita yang pokoknya dalam hidup itu kita harus saling asah, saling asuh dan saling asih.
Naskah Kuno Rawa Nabi
Nama Pemegang naskah : Adang. Tempat naskah : Kp. Cieunteung Desa Mekarluyu Kec. Sukawening. Asal naskah : warisan. Ukuran naskah : 16 x 21 cm. Ruang tulisan : 12 x 17 cm. Keadaan naskah : baik. Tebal naskah : 336 Halaman. Jumlah baris per halaman : 15 baris. Jumlah baris halaman awal dan akhir : 14 dan 9 baris. Huruf : Arab/Pegon. Ukuran huruf : sedang. Warna tinta : hitam. Bekas pena : agak tajam. Pemakaian tanda baca : ada. Kejelasan tulisan : jelas. Bahan naskah : kertas daluang. Cap kertas : tidak ada. Warna kertas : kecoklat-coklatan. Keadaan kertas : halus, agak tebal. Cara penulisan : timbal balik. Bentuk karangan : puisi.
Ringkasan isi :
Dikisahkan kabilah kaum Qurais yang hendak berdagang ke negeri Esam dipimpin oleh seorang kepala rombongan bernama Abu Jahal. Rombongan kabilah semuanya menunggang unta. Namun tiba-tiba unta yang ditunggangi Abu Jahal di paling depan tidak mau maju. Abu Jahal berusaha memaksa unta supaya melangkah, unta itu tetap diam bahkan menjatuhkan Abu Jahal dari punggungnya. Abu Jahal terjatuh dari punggung unta hingga pingsan. Selanjutnya Abu Jahal disarankan teman-temannya agar ganti naik unta. Abu Jahal menaiki unta lain, tetapi memasrahkan jabatan kepala rombongan kepada Alobah.
Ketika rombongan melanjutkan perjalanan tiba-tiba Alobah, kepala rombongan yang paling depan, diserang seekor harimau. Unta yang ditungganginya menjadi sasaran terkaman harimau itu. Abu Bakar yang ikut serta dalam rombongan itu berkata dalam hati. Ki Alobah, sebenarnya harimau itu hendak menerkammu, tetapi unta itu telah bela pati menjadi perisai.
Keesokan harinya yang menjadi kepala rombongan Ki Kosim. Konon malaikan Jibril turun dari langit kealam dunia membawa unta dari surga. Unta itu ditungganginya mendahului Ki Kosim. Unta yang ditunggangi malaikat adalah unta betina, sedangkan yang ditunggangi Ki Kosim adalah unta jantan. Ketika unta jantan yang ditunggangi Ki Kosim melihat unta betina itu, maka unta Ki Kosim berlari mengejar unta yang ditunggangi malaikat meninggalkan rombongan. Seketika anggota rombongan merasa heran jalan menjadi rata. Jibril dan untanya tiba-tiba menghilang tanpa ada yang tahu seorang pun. Ki Kosim bingung, jalan mendadak buntu. Semua menjadi tambah kaget, jalan menjadi hutan belantara. Tiba-tiba Abu Jahal berkata, hal ini pasti karena Muhammad ikut rombongan kita. Kemudian dari belakang Abu Bakar menyela, hai Abu Jahal , jangan sekali-sekali kau bicara asal bunyi. Muhammad itu bukan orang sembarangan, jika kamu tahu. Coba bila kamu beri ia kesempatan menjadi kepala rombongan mungkin kita tidak akan mengalami kejadian seperti ini. Kemudian Abu Jahal pun menuruti saran Abu Bakar dan Muhammad disetujui menjadi kepada rombongan menggantikan Ki Kosim. Maka ketika Muhammad menjadi kepala rombongan hutan belantara berubah menjadi jalan yang bagus, air, makanan dan buah-buahan banyak. Semua rombongan bergembira.
Dalam perjalanan pertama, Nabi dengan rombongannya dicegat oleh ular besar, tapi semua ular itu tunduk pada Nabi. Perjalanan kedua dicegat oleh seekor singa, tapi singa itu pun hormat dan sepertinya mengakui kerosulan Muhammad. Perjalanan ke negeri Esam dilanjutkan kembali hingga tiba pada sebuah rumah seorang Kyai yang sudah tua. Kyai itu bernama Syahroh, kerjanya mempelajari kitab-kitab Jabur, Tauret dan Injil. Ternyata Kyai Sahroh telah mengetahui kerosulan Muhammad. Dikisahkan perjalanan ke negeri Esam tinggal kurang lebih setengah hari lagi. Diceritakan di negeri Esam ketika kangjeng Nabi hamper tiba sekitar 3 pal lagi di kota Esam, orang-orang penduduk Esam merasa heran ketika terlihat cahaya menyebar ke kota Esam. Singkat cerita kangjeng Nabi sampai ke kota Esam, tampak cahaya kangjeng Nabi gemerlapan, kelap-kelip. Orang-orang pada bengong campur kaget. Di negeri Esam terang benderang. Burung-burung melayang-layang bolak-balik di atas negeri Esam seolah mengelilingi kota itu dan menandakan nabi telah datang. Pepohonan tiba-tiba keluar tunas, daun dan kembang. Orang-orang semakin kaget, apa sebab terjadi demikian. Diceritakan raja Esam pun telah melihat semua kejadian itu. Kemudian raja memanggil seorang ahli nujum dan menanyakan kejadian itu. Ahli nujum tadi menjelaskan bahwa hal itu sebagai tanda bakal datang ke negeri Esam seorang ratu sealam dunia.
Kemudian raja berdandan pakaian kebesaran hendak menyambut kedatangannya. Maka kangjeng Nabi beserta rombongan disambut dengan hormat oleh raja Esam dan di tempatkan di sebuah gedung mewah. Orang-orang negeri Esam hormat dan santun kepda kangjeng Nabi. Selama melakukan perdagangan di negeri Esam barang dagangan milik kangjeng Nabi laris sekali. Banyak penduduk tertarik untuk membelinya. Pada suatu hari ada 4 orang kafir yang telah mengetahui kerasulan Muhammad. Mereka membencinya dan hendak membunuh kangjeng Nabi. Dicarilah akal, mereka bermusyawarah. Dengan pura-pura hendak membeli barang dagangan kangjeng Nabi karena tertarik, disuruhlah kangjeng Nabi datang ke rumah orang-orang kafir sambil membawa dagangannya. Singkat cerita kangjeng Nabi sampai di rumah orang kafir itu dan disuruh duduk di kursi dekat pintu. Keempat orang kafir itu sangat santun dan hormat kepada kangjeng Nabi. Disuguhkanlah kangjeng Nabi makanan-makanan ringan. Sementara kangjeng Nabi mencicipi makanan itu, seorang dari empat orang kafir itu naik persis di atas pintu dimana kangjeng Nabi duduk. Rupanya mereka telah bersiasat jauh-jauh sebelumnya. Kangjeng Nabi disuruh duduk di dekat pintu, di atasnya telah disimpan sebongkah batu yang akan dijatuhkan sehingga menimpa kangjeng Nabi yang ada di bawahnya. Itulah rekayasa keempat orang kafir itu. Tetapi rencana mereka tidak berhasil karena batu yang akan ditimpakan kepada kangjeng Nabi tidak mampu digeserkan oleh orang kafir itu. Bahkan batu itu menjepitnya hingga tidak bisa keluar. Sampai ketiga orang temannya mengetahui kejadian itu. Pada akhirnya orang yang terjepit itu hanya bisa ditolong oleh kangjeng Nabi sendiri, setelah ia mengakui niat jahatnya.
Naskah Kuno Suryakanta
Nama pemegang naskah : Duki bin Saleh. Tempat naskah : Desa Cigagade Kec. Balubur Limbangan. Asal naskah : pemberian. Ukuran naskah : 17 x 22 cm. Ruang tulisan : 14 x 19 cm. Keadaan naskah : relatif baik. Tebal naskah : 241 Halaman. Jumlah baris per halaman : 12 baris. Jumlah baris halaman awal dan akhir : 12 dan 11 baris. Huruf : Arab/Pegon. Ukuran huruf : sedang. Warna tinta : hitam. Bekas pena : tumpul. Pemakaian tanda baca : ada. Kejelasan tulisan : jelas. Bahan naskah : kertas tidak bergaris. Cap kertas : tidak ada. Warna kertas : kecoklatan. Keadaan kertas : tebal. Cara penulisan : timbal balik. Bentuk karangan : puisi.
Ringkasan isi:
Adalah sebuah kerajaan Tanjung Karoban Bagendir yang jauhnya dari kerajaan Banurungsit tujuh bulan perjalanan. Raja Tanjung Karoban Bagendir bernama Dengali dengan patihnya Dungala yang kedua-duanya siluman. Raja Dengali mempunyai istri dua orang, Kala Andayang dan Kala Jahar. Pada suatu hari Raja Dengali didatangi oleh Emban Turga, Emban melaporkan bahwa kerajaan Nusantara baru saja dikalahkan oleh Raden Suryaningrat dari kerajaan Erum. Emban Turka terpikat oleh ketampanan dan kegagahan Raden Suryaningrat. Tatkala ia menyatakan cintanya, serta merta ditolak oleh Raden Suryaningrat, bahkan Emban Turga diusir. Emban Turga mohon bantuan Raja Dengali agar memperoleh Raden Suryanigrat untuk dijadikan suami. Raja Dengali menjanjikan akan membantu menangkap Raden Suryaningrat. Ia menyuruh seorang raksasa untuk mencuri putra mahkotanya bernama Suryakanta. Raden Suryakanta dapat diculik ketika sedang bermain ditaman. Maka hebohlah kerajaan Erum dan Nusantara karena kehilangan putra mahkota. Istri raja yang bernama Ningrumkusumah diusir karena dianggap dialah yang menjadi sebab hilangnya Raden Suryakanta. Ningrumkusumah pergi tanpa tujuan. Dalam perjalanannya ia sampai ke tempat pertapaan Pandita Syeh Rukmin,yang memberitahu bahwa ia telah difitnah oleh seseorang yang bernama Jamawati.
Untuk membalas dendam kepada yang memfitnah dan mendapatkan kembali Raden Suryakanta yang diculik atas perintah Raja Dengali, Ningrumkusumah harus berganti nama menjadi Jaya Komara Diningrat atau Jaya Lalana Di Ningrat. menyamar seolah-olah menjadi laki-laki.
Ningrumkusumah alias Jaya Komara dapat membunuh Raja Dengali dan Emban Turga. Tetapi untuk menemukan kembali Raden Suryakanta, ia harus mengalami bermacam-macam kesengsaraan dan peperangan. Dalam peperangan yang terjadi, Ningrukusumah selalu menang. Di setiap negara yang dikalahkannya, raja dan pemeluknya diharuskan memeluk agama Islam, diantaranya kerajaan Yunan, Turki, Raja Bahrain, Raja Gosman. Prabu Suryaningrat sepeninggalan Ningrumkusumah jatuh sakit. Ia selalu teringat kepada istrinya dan menyesali kepergiannya. Ditambah lagi putra kesayangannya Suryakanta belum ditemukan juga. Ia tidak menyangka bahwa Ningrumkusumah telah difitnah oleh Jamawati, istrinya yang lain.
Lama-kelamaan Raja Suryaningrat mengetahui dari seorang mentri bahwa Jamawati lah yang telah memfitnah Ningrumkusumah. Raden Suryaningrat sangat marah kepada Jamawati dan terbukalah bahwa yang telah mencuri Suryakanta adalah Raja Dengali atas permintaan Emban Turga.
Raden Suryaningrat menantang perang kepada Raja Dengali dari Kerajaan Tanjung Karoban Bagendir. Berkat kegagahan Ningrumkusumah dan Ratna Wulan (keduanya istri Raden Suryaningrat), Dengali dikalahkan dan Suryakanta kembali.
Naskah Kuno Walangsungsang
Nama Pemegang naskah : Imas Darwati. Tempat naskah : Desa Tegalsari Kec. Wanaraja. Asal naskah : pemberian dari Ny. Titi, Cinunuk Garut. Ukuran naskah : 17 x 21.5 cm. Ruang tulisan : 11 x 15 cm. Keadaan naskah : baik. Tebal naskah : 266 Halaman. Jumlah baris per halaman : 13 baris. Jumlah baris halaman awal dan akhir : 12 dan 14 baris. Huruf : Arab/Pegon. Ukuran huruf : sedang. Warna tinta : hitam. Bekas pena : tajam. Pemakaian tanda baca : ada. Kejelasan tulisan : jelas. Bahan naskah : kertas tidak bergaris. Cap kertas : tidak ada. Warna kertas : kekuning-kuningan. Keadaan kertas : tebal, halus. Cara penulisan : timbal balik. Bentuk karangan : puisi.
Ringkasan isi :
Prabu Siliwangi, raja Padjadjaran mempunyai dua orang putra, yang sulung laki-laki bernama Walangsungsang, dan adiknya perempuan bernama Rara Santang. Disamping kedua putranya itu, Baginda mempunyai putra yang lainnya pula sebanyak sembilan orang. Tetapi mereka meloloskan diri dari keratin. Kesembilan putranya itu terdiri atas lima orang laki-laki dan empat orang perempuan. Mereka bertapa di Gunung yang saling berjauhan. Seorang putranya laki-laki bertapa di Jakarta, yang lain di Tanjung Kuning bernama Santang Partala, sedang yang lainnya lagi bernama Garantang Setra, Ishu Gumare di Lebak dan Sang Sekarsari. Adapun putra-putranya yang perempuan adalah Nyi Tanjung Buana betapa di Pesisir Barat, Nyi Gending Juri atau Nyi Panjang Nagara di pesisir Selatan, Nyi Ratu di Kawali, dan Nyi Sekar Bang di Karang Pangantik.
Pada suatu malam Walangsungsang bermimpi. Dalam mimpi ia bertemu dengan Rosul yang menganjurkan agar pergi menuju Gunung Amparan dan menemui Syeh Jati, seorang guru dari Mekah. Keesokan harinya Walangsungsang memberikan impiannya itu kepada ayahnya. Prabu Siliwangi setelah mendengar pembicaraan Walangsungsang sangat murka. Lalu Walangsungsang berjalan menuju Karawang menemui Syeh Orah, yaitu seorang guru keturunan Qurais yang menganggap guru kepada Syeh Gunung Jati.
Atas petunjuk Syeh Ora, Walangsungsang pergi menuju Gunung Amparan untuk berguru kepada Syeh Nurjati. Tetapi di tengah perjalanan ia singgah dulu di padepokan agama Budha. Ia belajar agama Budha dari Pandita Danuwarsi sampai paham betul tentang seluk-beluk agama itu.
Dikisahkan Rara Santang akhirnya melaksanakan pula pesan kakaknya. Ia meninggalkan keraton menyusul Walangsungsang. Di Gunung Tangkuban Perahu ia bertemu dengan Nyai Indang Sakiti, yakni adik Prabu Siliwangi. Dari Nyai Indang, Rara Santang memperoleh hadiah azimat baju antakusumah. Khasiat baju tersebut, barang siapa yang memakai baju tersebut maka ia dapat terbang. Kemudian Rara Santang berganti nama menjai Nyi Batin. Ia meninggalkan Gunung Tangguban Perahu dan pergi ke Gunung Cilawung, atas anjuran Nyi Indang Sakiti. Di Gunung Cilawung Nyi Batin bertemu dengan Sang Banjaran Angganati, seorang pendeta. Sebuah nama diberikan oleh pendeta itu kepada Nyi Batin, ialah nama Nyi Eling.
Pertemuan kakak beradik, Walangsungsang dan Rara Santang terjadi di tempat kediaman pendeta Danu Wargi. Pendeta itu mempunyai seorang anak perempuan bernama Nyi Endang Geulis yang kemudian dikawin oleh Walangsungsang. Walangsungsang diberi sebentuk cincin ampil ali-ali dan nama baru yakni Samadulahi. Walangsungsang terus mencari guru agama Islam. Sampai ada petunjuk terus melanjutkan perjalanan ke Gunung Jati. Petunjuk itu datang dari raja Bango yang berhasil ditaklukan Walangsungsang ketika ia akan mendapatkan azimat berupa pandil baja. Di Gunung Jati ada Syeh Nurjati, nama lainnya Syeh Nurbayan, cucu Nabi Muhammad. Putra raja Padjadjaran itu menyatakan tunduk kepada Syeh Nurjati dan ia berguru agama Islam. Syeh Nurjati memberi nama kepada Walangsungsang, Cakrabumi.
Pada suatu waktu Syeh Nurjati menengok Walangsungsang di Sembung Luwung. Saat itulah Syeh Nurjati menyuruh Walangsungsang dan Rara Santang untuk pergi ke Baitulloh. Kemudian kedua kakak beradik itu pergi ke Mekah dengan membawa sepucuk surat dari Syeh Nurjati yang dialamatkan kepada Syeh Bayan. Kepada Syeh Bayan inilah Walangsungsang berguru agama Islam.
Dikisahkan Rara Santang diperistri oleh raja Mesir dan mempunyai dua orang anak, ialah Syarif Hidayat dan Syarif Arifin. Adapun Walangsungsang setelah diberi Sorban oleh raja Mesir dan perbekalan di Arab kembali lagi ke Pulau Jawa dengan Nama Abdul Keman. Dalam perjalanannya ia singgah dulu di Aceh. Di sana ia mengobati Sultan Kut dan kawin dengan anak sultan itu.
Diceritakan oleh yang empunya cerita bahwa Syarif Hidayat mencari Nabi Muhammad. Atas pertolongan Abdul Safari dengan memberikan dua buah barang yang berasal dari Malaikat Jibril. Syarif Hidayat dapat mengadakan perjalanan Miraj. Ia bertemu dengan Nabi Muhammad dan mengadakan percakapan tentang rahasia hidup dan mati. Atas perintah Nabi Muhammad. Syarif Hidayat akhirnya pergi ke Gunung Jati di Pulau Jawa dan berjumpa lagi dengan ibunya, Rara Santang yang sudah pulang dari Mesir, di Cirebon. Sebelum ia bermukim di Gunung Jati dengan nama Sunan Jati Purba, ia pernah berkelana di Jawa, Madura, Palembang dan Cina.
Babad Limbangan
Nama pemegang naskah : R. Sulaeman Anggapradja. Tempat naskah : Jln Ciledug 225 Kel. Kota Kulon. Kec Garut Kota. Asal naskah : warisan. Ukuran naskah : 20.5 x 32 cm. Ruang tulisan : 17 x 17 cm. Keadaan naskah : baik. Tebal naskah : 16 Halaman. Jumlah baris per halaman : 39 baris. Jumlah baris halaman awal dan akhir : 39 dan 23 baris. Huruf : Latin. Ukuran huruf : sedang. Warna tinta : hitam. Bekas pena : agak tajam . Pemakaian tanda baca : ada. Kejelasan tulisan : jelas. Bahan naskah : kertas bergaris ukuran folio. Cap kertas : tidak ada. Warna kertas : putih. Keadaan kertas : agak tebal, halus. Cara penulisan : timbal balik. Bentuk karangan : puisi.
Ringkasan isi :
Pada zaman dahulu kala Prabu Layaran Wangi (Prabu Siliwangi) dari kerajaan Pakuan Raharja mempunyai seorang pembantu bernama Aki Panyumpit. Setiap hari Aki Panyumpit diberi tugas berburu binatang dengan menggunakan alat sumpit (panah) dan busur.
Pada suatu hari Aki Panyumpit pergi berburu ke arah Timur. Sampai tengah hari ia belum memperoleh hasil buruannya, padahal telah banyak bukit dan gunung didaki. Sesampainya di puncak gunung, ia mencium wewangian dan melihat sesuatu yang bersinar di sebelah Utara pinggir sungai Cipancar. Ternyata harum wewangian dan sinar itu keluar dari badan seorang putri yang sedang mandi serta mengaku putra Sunan Rumenggong, yaitu Putri Rambut Kasih penguasa daerah Limbangan. Peristiwa pertemuan dengan Nyi Putri dari Limbangan dikisahkan oleh Aki Panyumpit kepada Prabu Layaran Wangi. Berdasarkan peristiwa itu Prabu Layaran Wangi menamai gunung itu Gunung Haruman (haruman = wangi). Prabu Layaran Wangi bermaksud memperistri putri dari Limbangan. Ia mengirimkan Gajah Manggala dan Arya Gajah (keduanya pembesar Pakuan Raharja).
Aki Panyumpit serta sejumlah pengiring bersenjata lengkap untuk meminang putri tersebut dengan pesan lamaran itu harus berhasil dan jangan kembali sebelum berhasil. Kendati pun pada awalnya Nyi Putri menolak lamaran tetapi setelah berhasil dinasehati Sunan Rumenggong, ayahnya, akhirnya menerima dijadikan istri oleh Prabu Layaran Wangi. Selang 10 tahun antaranya, Nyi Putri (Rambut Kasih) mempunyai dua orang putra dari Raja Pakuan Raharja, yaitu Basudewa dan Liman Senjaya. Kedua anak itu dibawa ke Limbangan oleh Sunan Rumenggong (kakeknya) dan kemudian dijadikan kepala daerah di sana. Basudewa menjadi penguasa Limbangan dengan gelar Prabu Basudewa dan Liman Senjaya penguasa daerah Dayeuh Luhur di sebelah Selatan dengan gelar Prabu Liman Senjaya.
Di kemudian hari Prabu Liman Senjaya setelah beristri membuka tanah, membuat babakan pidayeuheun (kota) dan lama kelamaan dibangun sebuha Negara dengan nama Dayeuh Manggung. Negara baru ini bisa berkembang sehingga dikenal baik oleh tetangga-tetangganya, seperti Sangiang Mayok, Tibanganten, Mandalaputang. Dayeuh Manggung terkenal karena keahlian dalam membuat tenunan. Rajanya yang lain yang termashur adalah Sunan Ranggalawe.
Naskah Kuno Samaun
Nama Pemegang naskah : Aki Ebeng. Tempat naskah : Desa Cikelet Kulon Kec. Cikelet. Asal naskah : warisan. Ukuran naskah : 16.3 x 21 cm. Ruang tulisan : 14 x 19 cm. Keadaan naskah : hilang sebagian. Tebal naskah : 72 Halaman. Jumlah baris per halaman : 16 baris. Jumlah baris halaman awal dan akhir : 14 dan 16 baris. Huruf : Arab/Pegon. Ukuran huruf : sedang. Warna tinta : biru. Bekas pena : tumpul. Pemakaian tanda baca : ada. Kejelasan tulisan : jelas. Bahan naskah : kertas bergaris. Cap kertas : tidak ada. Warna kertas : putih. Keadaan kertas : halus, agak tebal. Cara penulisan : timbal balik. Bentuk karangan : puisi.
Ringkasan isi :
Nyi Siti Huna di negeri Mekah bersuamikan Ki Halid. Mereka masih menyembah berhala. Karena putranya yang sembilan orang itu perempuan semua, mereka selalu berdoa agar dikaruniai anak laki-laki. Permohonan kedua suami istri itu dikabulkan, maka lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Samaun. Begitu anak itu dilahirkan, kemudian berlari keluar rumah dan bersujud kepada Allah sambil mengucapkan kalimat syahadat. Nyi Siti Huna sangat terkejut, apalagi ketika disuruh menyusu tidak mau bahkan berkata tidak mau menyusu karena ibunya seorang kafir. Demi kebahagiaan anaknya, Kemudian Siti Huna masuk Islam Dan mengucapkan syahadat. Di tempat tidur Samaun selalu bercakap-cakap dengan ibunya. Ki Halid melihat kenyataan bahwa anaknya baru tiga hari sudah dapat berbicara dan meminta agar ayahnya masuk Islam, maka Ki Halid pun masuk Islam dan mengucapkan syahadat.
Nabi Muhammad mendengarkan ada anak yang baru dilahirkan sudah dapat berbicara dan kedua orang tuanya sudah masuk Islam, berkenan pergi melayat. Samaun dipangku dan dicium nabi Muhammad. Abu Jahal mendengar Nabi Muhammad telah melayat keluarga Ki Halid, berkenan pula pergi menengok Samaun. Akan tetapi, baru saja Abu Jahal masuk di pekarangan. Samaun berteriak-teriak mengancam sehingga Abu Jahal lari pontang-panting. Atas kelakuan Samaun semacam itu menimbulkan kemarahan Abu Jahal. Patih Surakah dimintai tolong oleh oleh Abu Jahal agar Nabi Muhammad dan samaun diusir dari Mekah. Ketika diadakan pembicaraan bagaimana caranya mengusir Samaun, ternyata tidak ada yang sanggup. Oleh karena itu Abu jahal meminta bantuan kepada Kin Wan raja di negeri Iskandar.
Sebelum Kin Wan datang melapor ke Abu jahal akan menangkap Samaun dilewatinya rumah Samaun itu. Kin Wan terpancing pertengkaran mulut dengan Samaun sehingga kemudian berkelahi dan Kin Wan terbunuh. Rakyat Mekah geger menyaksikan Kin Wan terbunuh itu. Abu Jahal bertambah marah, dikumpulkannya tentara dan dikepungnya rumah Samaun. Akan tetapi setiap orang yang akan menangkap Samaun selalu mati terbunuh.
Pada suatu ketika Samaun bertemu dengan Abu Jahal di pasar. Terjadilah percakapan yang tidak mengenakkan Abu Jahal, apalagi setelah Samaun berkata agar putrinya diberikan untuk dijadikan istri. Samaun masuk ke rumah Abu Jahal. Di rumah Abu Jahal Samaun menjumpai dua orang wanita dan satu diantaranya adalah putri Abu jahal, kedua orang wanita itu kemudian masuk Islam dan dibawa ke rumah Samaun. Abu Jahal bukan main berangnya, tetapi ia bingung pula memikirkan bagaimana cara mengusir Samaun dan nabi Muhammad.
Tersebutlah di negeri Swara yang dirajai oleh Kobti mempunyai seorang putri bernama Siti mariyah, walaupun sudah dilamar oleh banyak raja, tetapi selalu ditolak oleh ayahnya, Siti Mariyah menyuruh orang untuk datang kepada Nabi Muhammad. Siti Mariyah meminta Nabi Muhammad agar datang melamarnya. Mula-mula Nabi Muhammad bingung, tetapi setelah mendapat restu dari Siti Aisyah, istrinya, dan pula setelah mendapat wahyu maka berangkatlah Nabi Muhammad berikut pengikutnya ke negari Swara. Raja Swara tidak senang atas kedatangan Nabi Muhammad itu dan terjadilah peperangan. Peperangan atas kedua belah pihak akhirnya dimenangkan oleh tentara Nabi Muhammad meskipun jumlah tentara Kobti lebih banyak. Samaun dalam peperangan ini bukan main berjasanya, bahkan Siti Mariyah putri raja Kobti pun dapat dibawa lari oleh Samaun, yang kemudian diserahkan kepada Nabi Muhammad. Raja Kobti berikut para pengawalnya mati terbunuh oleh Ali, sahabat Nabi. Para prajurit Kobti yang masih hidup bersama-sama Siti Mariyah kemudian masuk Islam. Seluruh harta kekayaan negeri Kobti dibawa ke negeri Mekah dan diperlakukan sebagai barang gonimah
Naskah Kuno Suryaningrat
Nama pemegang naskah : Duki bin Saleh. Tempat naskah : Desa Cigagade Kec. Balubur Limbangan. Asal naskah : salinan. Ukuran naskah : 17 x 22 cm . Ruang tulisan : 14 x 18 cm. Keadaan naskah : baik. Tebal naskah : 269 Halaman. Jumlah baris per halaman : 13 baris. Jumlah baris halaman awal dan akhir : 12 dan 10 baris. Huruf : Arab/Pegon. Ukuran huruf : sedang. Warna tinta : hitam. Bekas pena : agak tajam. Pemakaian tanda baca : ada. Kejelasan tulisan : jelas. Bahan naskah : kertas bergaris. Cap kertas : tidak ada. Warna kertas : putih kekuning-kuningan. Keadaan kertas : tipis halus. Cara penulisan : timbal balik . Bentuk karangan : puisi.
Ringkasan isi :
Tersebutlah sebuah kerajaan yang bernama Banurungsit. Kerajaan itu diperintah oleh seorang raja bernama Suryanagara. Ia mempunyai seorang putra bernama Suryaningrat. Suryaningrat beristri Ningrumkusumah, putra patih. Setelah Raja Suryanagara meninggal, Raden Suryaningrat diangkat menjadi raja. Ternyata pengangkatan tersebut tidak dikehendaki oleh Raja Duryan. Kerajaan Banurungsit diserang Raja Duryan yang mendapat dukungan rakyat Banurungsit. Dalam peperangan yang terjadi Suryaningrat kalah, lalu ditangkap dan dipenjarakan sedangkan istrinya, Ningrumkusumah dipaksa untuk menjadi istri raja Duryan.
Dengan menggunakan ilmu sirep, Ningrumkusumah berhasil membebaskan suaminya. Kemudian mereka melarikan diri ke hutan. Mereka terus berkelana sampai akhirnya tiba di wilayah negara Durselam. Ketika sedang mandi di sebuah Taman yang indah, Ningrumkusumah dilihat patih Indra Bumi yang ditugaskan oleh raja Durselam mencarikan wanita cantik untuk dijadikan istrinya. Dalam perjalanan menuju ibukota Durselam, Suryaningrat ditenggelamkan ke dalam sungai oleh Demang Langlaung. Meskipun suaminya Suryaningrat telah tenggelam dibawa arus sungai, Ningrumkusumah mencari suaminya menyusuri sungai. Dalam perjalanan mencari suaminya, Ningrumkusumah mendapat keris pusaka bernama Bantal Nogar dari seorang pertapa berasal dari tanah Arab yang bernama Syeh Rukman. Menurut petunjuk pertapa untuk dapat bertemu kembali dengan suami, Ningrumkusumah harus menyamar menjadi seorang laki-laki dengan nama Raden Rukmantara. Raden Rukmantara terlibat perang dengan pasukan Duryan yang menguasai Banurungsit. Raja Duryan sedang mencari Raden Suryaningrat dan Ningrumkusumah. Dalam perang tersebut Raden Rukmantara menang.
Raden Rukmantara melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan ia sempat ke Negara Erum yang diperintah oleh Sri Amangkurat. Raja ini mempunyai seorang putri cantik bernama Ratna Wulan. Ratna Wulan jatuh cinta kepada Raden Rukmantara yang tidak mengetahui bahwa sebetulnya orang itu adalah wanita. Raden Rukmantara pura-pura mau. Akhirnya mereka menikah. Raden Rukmantara diangkat menjadi raja negara Erum.
Prabu Kandi, raja negara Esam, yang ditolak lamarannya oleh putri Ratna Wulan menantang perang kepada negara Erum. Raden Rukmantara berhasil mengalahkan Prabu Kandi berkat tuah senjata pemberian Syeh Rukman. Prabu Kandi sendiri yang telah dikalahkan oleh Rukmantara dipaksa untuk menganut agama Islam.
Raden Suryaningrat yang hanyut di sungai telah sampai ke sebuah puli Peri yang dikuasai oleh Naga Giri. Raden Suryaningrat dapat meninggalkan Nusa Ipri dan sampailah ke negara Erum. Raden Rukmantara alias putri Ningrumkusumah yang sedang mencari suaminya membuat sayembara di negara Erum dengan memasang gambarnya yang sedang menangisi Raden Suryaningrat. Barangsiapa yang melihat gambarnya yang sedang menangis harus membawanya ke istana. Melalui gambar tersebut Raden Suryaningrat dapat bertemu kembali dengan istrinya, Ningrumkusumah. Selanjutnya Ratna Wulan dijadikan istri kedua oleh Raden Suryaningrat.
Ringkas cerita,setelah semua musuh dapat dikalahkan dan mereka diampuni bahkan diangkat menjadi senapati di negara asal masing-masing, Raden Suryaningrat dengan istrinya hidup tentram di negara Banurungsit.
Sumber: pasulukan loka gandasasmita
0 komentar:
Posting Komentar