Naskah Sunda Kuno - Sulanjana
Ringkasan isi:
Di Suralaya para dewa bermusyarawah untuk mendirikan bakal Panca Warna. Dewi Anta ditugas membuat batu penyangga tiang. Tetapi Dewi Anta tidak dapat melaksanakan tugasnya, karena badannya berbentuk ular. Dewi Anta menangis sedih dan meneteskan air mata tiga butir. Air mata itu kemudian berubah menjadi tiga butir telur yang dibawanya dengan cara digenggam oleh mulut.
Karena kesalahpahaman seekor burung elang, telur itu jatuh dua butir yang kemudian menetas menjadi Kalabuat dan Budug Basu. Sapi Gumarang, raja segala binatang jelmaan Kencing Idajil (setan) memelihara Kalbuat dan Budug Basu sebagai anak angkat. Atas perintah Batara Guru telur yang tinggal satu butir dierami Dewi Anta. Telur menetas, lahirlah seorang putri cantik yang diberi nama Dewi Puhaci Terus Dangdayang atau juga Dewi Aruman. Batara Guru mencintai Dewi Puhaci dan berniat memperistri. Akan tetapi ditentang oleh Batara Narada karena hal itu akan merusak citra Batara Guru sendiri. Disamping itu Batara Guru dianggap melanggar hukum dan merusak agama sebab Dewi Puhaci diasuh dan disusui oleh Dewi Umah, istri Batara Guru. Oleh karena itu Dewi Puhaci masih tergolong anak Batara Guru, maka perkawinannya tidak boleh terjadi.
Agar perkawinan Batar Guru dengan Dewi Puhaci tidak terjadi, Batara Narada mencari akal. Diberinya Dewi Puhaci buah Koldi sehingga berhenti menyusui. Tetapi karena ketagihan dan buah koldi itu tidak ada lagi, maka Dewi Puhaci jatuh sakit hingga meninggal dunia. Mayat Dewi Puhaci diurus oleh bagawat Sang Sri dan kuburannya dijaga siang malam sambil menyalakan dupa. Kemudian keluarlah dari dalam tanah kuburan itu berjenis-jenis bibit tanaman. Dari kuburan bagian kepala keluar kelapa, dari telinga keluar macam-macam pohon bamboo, dari ari-ari keluar macam-macam tumbuhan menjalar, dari payudara keluar macam-macam buah-buahan. Pendek kata semua jenis pepohonan berasal dari tubuh Dewi Puhaci.
Semar ditugasi Batara Guru untuk membawa bibit tanaman itu ke negeri Pakuan yang dirajai Prabu Siliwangi. Istri Prabu Siliwangi bernama Nawang Wulan adalah putra Batara Guru. Maka dengan adanya bibit tanaman itu, negeri Pakuan menjadi subur makmur. Akan tetapi Prabu Siliwangi dilarang mengetahui bagaimana Dewi Nawang Wulan menanak nasi. Jika Sang Prabu Siliwangi melanggar larangan, maka akan jatuh telak kepada Nawang Wulan.
Tersebutlah Budug Basu yang diasuh oleh Sapi Gumarang di Tegal Kapapan sedang mencari Dewi Puhaci. Tiba di kuburan Dewi Puhaci, Budug Basu mengelilingi kuburan sebanyak tujuh kali. Setelah itu Budug Basu meninggal dunia. Mayat Budug Basu oleh Kalamullah dan Kalamuntir dibawa keliling dunia sebanyak tujuh kali. Di tengah jalan mayat Budug Basu pun menjelma menjadi seekor badak. Kalamullah dan Kalamuntir menjaga binatang-binatang tersebut menjadi dua bagian yaitu bagian darat dan laut.
Selanjutnya dikisahkan Sulanjana putra laki-laki yang diasuh Dewi Pratiwi, dititipi negeri Suralaya sebab Batara Guru dan Narada akan turun ke bumi memeriksa negeri Pakuan. Kedua Batara itu menjelma menjadi burung Pipit.
Tersebutlah Dempu Awang dari negeri seberang akan membeli padi dari Pakuan. Karena padi-padi tersebut hanya titipan Batara Guru, oleh putra Siliwangi permohonan Dempu Awang itu ditolak. Dempu Awang sakit hati, maka dimintanya bantuan dari Sapi Gumarang untuk merusak tanaman padi. Sapi Gumarang dibantu oleh binatang-binatang jelmaan Budug Basu, merusak tanaman padi. Sementara Sulanjana dan kedua orang adik perempuannya yang bernama Talimendang dan Talimendir, diperintah Batara Guru untuk menjaga dan menyembuhkan padi. Terjadilah peperangan antara penjaga dan perusak. Akan tetapi Sapi Gumarang kalah dan berjanji akan mengabdi kepada Sulanjana asal pada setiap mulai menanam padi 'disambat' (atau dipanggil secara batin) serta disediakan daun paku pada 'pupuhunan' (tempat sesaji di ladang atau di sawah).
Prabu Siliwangi penasaran ingin melihat cara Dewi Nawang Wulan menanak nasi. Dibukanya padi yang sedang dimasak, maka Dewi Nawang Wulan kembali ke Kahiyangan. Namun sebelum pergi sempat berpesan dulu agar membuat lesung, dulang, kipas (bahasa sunda:hihid), bakul dan periuk untuk menanak nasi. Prabu Siliwangi menyesal dan menghadap Batara Guru minta pengampunan agar Dewi Nawang Wulan kembali ke Pakuan. Permohonan Sang Prabu ditolak, kemudian ia sendiri pergi ke Pakuan setelah menerima pelajaran bagaimana cara menanak nasi dan bercocok tanam padi yang baik. Dewi Anta oleh Batara Guru diturunkan ke bumi untuk menjaga padi.
Kondisi Naskah:
Kecamatan : Sukawening
Nama Pemegang naskah : Adang
Tempat naskah : Kp. Cieunteung Desa Mekarluyu
Asal naskah : warisan
Ukuran naskah : 17 x 22 cm
Ruang tulisan : 14 x 18 cm
Keadaan naskah : tidak utuh
Tebal naskah : 49 Halaman
Jumlah baris per halaman : 14 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 11 baris dan -
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : besar
Warna tinta : hitam
Bekas pena : tumpul
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kecoklat-coklatan
Keadaan kertas : agak tipis halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : puisi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Hatur nuhun....Rahayu
Posting Komentar