Munculnya nama Kerajaan Pajajaran menggantikan nama Sunda Galuh seiring
dengan penobatan Jayadewata atau yang dikenal dengan Sri Baduga
Maharaja, Prabu Wangi / Siliwangi (1482-1521) selanjutnya setelah Prabu Wangi, para raja diberi gelar Silihwangi, (Silih = pengganti setelah yang pertama, seperti Silihmulud). Prabu Siliwangi memilih Pakuan
sebagai ibukota, sehingga dikenal juga nama Pakuan Pajajaran.
Barangkali Prabu Siliwangi ini merupakan raja yang paling melekat
namanya di hati masyarakat Sunda kontemporer. Beliau sering dikenal
sebagai karuhun urang Sunda. Ditilik kiprahnya dalam sejarah Sunda,
memang beliau banyak membuat karya besar pada jamannya. Yang utama
adalah pada masa pemerintahannya rakyat makmur sejahtera. Perdagangan
meningkat pesat ditunjang oleh kontrol penuh atas selat Sunda, Pelabuhan
Banten, Pelabuhan (Sunda) Kalapa, dan Muara Jati Cirebon. Penguasaan
atas pelabuhan Cirebon kemudian diberikan kepada Raden Walangungsang,
anaknya dari Subanglarang, yang seorang muslimah. Pada masanya juga
ditandatangani perjanjian dagang dan keamanan dengan penguasa selat
Malaka, Portugis. Sementara di dalam negeri, dibangunlah situs Rancamaya
(Bogor sekarang).
Sementara di tanah Jawa lainnya, Kerajaan yang sedang kuat kuatnya
adalah Demak yang bercorakkan Islam. Di tatar Sunda sendiri,
perkembangan Islam begitu pesat. Mungkin karena agama baru ini lebih
mendekati agama asli urang Sunda (jatisunda, sundawiwitan) yang monotheism.
Setelah wafat, maka beliau digantikan Surawisesa (1521-1535). Bukan
main beratnya melanjutkan nama besar sang ayah. Pada masanya, Kesultanan
Cirebon melepaskan diri. Disusul wilayah Banten yang mendeklarasika
Kesultanan Banten. Terakhir adalah Sunda Kalapa yang direbut Fatahillah,
yang setelah direbut berganti nama menjadi Jayakarta. Satu persatu
kerajaan di bawah Pajajaran lainnya mulai lepas. Mulai dari Kerajaan
Galuh, Kerajaan Talaga, dan akhirnya Sumedang Larang. Ketika akhirnya
perjanjian damai ditandatangani Oleh Kerajaan Pajajaran dan dan
Kesultanan Cirebon, Surawisesa telah kehilangan setengah wilayahnya.
Mungkin hal ini yang mendorong penulisan Prasasti Batu Tulis yang
menceritakan kebesaran ayahnya dan simbolisasi penyesalan atas banyaknya
kehilangan wilayah pada masanya.
Setelah wafat Surawisesa, maka Praba Ratu Dewata (1535-1543)
menggantikannya. Pada masa beliau, keadaan kehidupan yang sulit melanda
kerajaan. Kondisi ini diperparah dengan serbuan kesultanan Banten yang
menyerang ibukota Pakuan, walaupun gagal. Sebagian berpendapat situasi
ini disebabkan sang Prabu kurang cakap dalam memimpin kerajaan, dan
lebih tertarik mendalami ilmu tapabrata.
Keadaan tidak lebih baik setelah Sang Ratu Saksi naik tahta (1543-1551).
Jika sang ayah adalah ahli ibadah yang lemah lembut, maka sang anak
berperangai keras dan sewenang wenang. Banyak kasus dimana harta benda
rahayat diambil paksa. Lebih parah lagi dia meniru perangai buyutnya,
Dewa Niskala dengan menikahi wanita yang sudah bertunangan, dan
melakukan skandal dengan mantan selir ayahnya. Akhirnya sang Ratu
diturunkan dengan paksa, dan digantikan Nilakendra (1551-1567).
Pada saat Nilakendra berkuasa, Pajajaran benar benar dilanda situasi
tidak menentu dan dan frustasi yang meluas. Rakyat banyak yang
kelaparan. Ditengah kekacauan, Nilakendra melarikan diri dari himpitan
masalah dengan menganut ajaran ekstrim, tantra. Aliran ini
mengutamakan merapal manteta mantera untuk menyelesaikan persoalan, dan
mabuk mabuk setelah menyantap hidangan yang lezat sebagai salah satu
ritualnya. Sementara ditengah suramnya ekonomi, malah digelar proyek
memperindah istana dengan hiasan hiasan berlapis emas.
Tak heran bila kesultanan Banten dengan mudah menghancurkan Pakuan. Raja
terakhir Pajajaran, Prabu Seda / Raga Mulya / Suryakancana, akhirnya
meninggalkan Pakuan dan memilih Rajatapura, di Pandeglang sebagai pusat
pemerintahan dalam pelarian. Rajatapura, di tempat inilah dulu untuk
pertama kalinya Kerajaan Sunda kuno era Salakanagara berdiri. Semacam
pertanda Kerajaan Sunda dimulai di Rajatapura, dan berakhir di
Rajatapura. Ramalan itu ada benarnya, saat Pasukan kesultanan Banten
membumi hanguskan Rajatapura. bertepatan dengan tanggal 8 Mei 1579 Masehi.
Benarkah Kerajaan Pajajaran musnah ketika Raja terakhir Suryakancana dan
pengikutnya diluluh lantakkan oleh pasukan Kesultanan Banten? tidak
juga.
Jauh sebelum Sri Baduga Maharaja bertahta, tepatnya pada saat buyutnya,
Prabu Darmasiksa berkuasa (1175-1297), berarti sekitar 300 tahun
sebelum penobatan Prabu Siliwangi, Prabu Darmasiksa banyak mendirikan kabuyutan (daerah suci) yang dilengkapi dengan mandala (lingkungan dengan penataan selaras alam).
Tercatat kabuyutan yang didirikan adalah di Ciburuy (Garut), dan Kanekes
(Banten). Salah satu yang bertahan melintasi jaman hingga kini adalah
Kanekes atau yang lebih dikenal dengan Baduy sekarang. Jika dihitung sejak berdirinya hingga sekarang, maka diperkirakan kampung Baduy telah berusia sekitar 500 tahun.
Tidak banyak yang berubah dari kehidupan Kanekes. Dengan demikian, setidaknya kita tahu potret sepotong kehidupan Kerajaan Sunda Kuno, dari kanekes lah kita bisa memperkirakan bahwa istana kerjaan sunda dibangun seluruhnya dengan kayu, hanya alasnya saja yang ditopang dengan bebatuan. jadi wajar saja jika kerajaan sunda tidak berbekas istananya. sebagian pendapat mengatakan bahwa Istana Kerajaan Sunda hilang bersama hilangnya Sang Prabu..
Wallohu a'lam..
0 komentar:
Posting Komentar